Minggu, 27 Maret 2016

ayat al quran tentang empiris,nativismedan konvergensi


PERSPEKTIF ISLAM TERHADAP ALIRAN NATIVISME, EMPIRISME DAN KONVERGENSI
A. Perspektif Islam Terhadap Aliran Nativisme
Fitrah yang disebut dalam Q.S al-Rum (30):30; Q.S al-Adalah’raf (7):172, mengandung implikasi kependidikan bahwa di dalam diri manusia terdapat potensi dasar beragama yang benar dan lurus (al-din al-qayyim) yaitu agama Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah itu merupakan ciptaan Allah yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap pribadi manusia.
Berdasar interprestasi demikian, maka pendidikan Islam “bisa dikondisikan” berfaham nativisme, yaitu suatu faham yang menyatakan bahwa perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi dasarnya.
Aliran ini merupakan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan kurang berpengaruh pendidikan dan perkembangan anak. Tokoh utama aliran ini adalah Schopenhauer, dalam artinya yang terbatas juga dapat kita masukkan dalam golongan ini Plato, Descartes, Lombroso dan pengikut-pengikutnya yang lain. Para ahli yang mengikuti pendirian ini biasanya mempertahankan kebenaran konsepsi ini dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang tua dengan anak-anaknya. Misalnya kalau ayahnya ahli musik maka kemungkinannya adalah besar bahwa anaknya juga akan menjadi ahli musik; kalau ayahnya seorang pelukis, maka anaknya juga akan menjadi pelukis, kalau ayahnya seorang ahli fisika, maka anaknya ternyata juga menjadi ahli fisika, dan sebagainya. Pokoknya keistimewaan – keistimewaannya dimiliki orang tua juga dimilki oleh anaknya.
Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan, Schopenhauer (filsuf Jerman (1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditentukan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat, dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk perkembangan anak sendiri. Istilah nativisme, dari asal kata natie yang artinya adalah terlahir. Bagi nativisme, lingkungan sekitar tidak ada artinya sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut pandangan ini menyatakan bahwa kalau anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak memilki pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan baik dan buruk ini tidak dapat diubah dari kekuatan luar.
Sebuah sabda Nabi SAW yang dapat dijadikan sumber pandangan nativisme seperti tersebut, di atas adalah sebagai berikut:
“Setiap orang dilahirkan oleh ibunya atas dasar fitrah (potensi dasar untuk beragama), maka setelah itu orang tuanya mendidik menjadi beragama Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi; jika orang tua keduanya beraga Islam, maka anaknya menjadi muslim (pula)”. (H.R. Muslim dalam kitab Shahih, Juz. II, p. 459).

Pengertian yang bersumber dari dalil di atas diperkuat oleh Syech Muhammad Abduh dalam Tafsirnya yang berpendapat bahwa agama Islam adalah agama fitrah. Pendapat Muhammad abduh ini serupa dengan pendapat Abu Adalah’la Al-Maududi yang menyatakan bahwa agama Islam adalah identik dengan watak tabi’y manusia (human nature). Demikian pula pendapat Syyid Qutb yang menyatakan bahwa Islam diturunkan Allah untuk mengembangkan watak asli manusia (human nature), karena Islam adalah agama fitrah.agama Islam sebagai agama fitrah disamakan oleh Ibnu Qayyim dengan kecenderungan asli anak bayi yang secara instinktif (naluriah) menerima tetek ibunya. Manusia menerima agama Islam bukan karena paksaan, melainkan karena adanya kecenderungan asli itu yaitu fitrah Islamiah.

B. Perspektif